Powered By Blogger

Rabu, 19 Juni 2013

Dua Rindu,,,

Dua Rindu,,,Seharian saya mengurung diri di kamar. Hanya istirahat, mendengarkan musik, menulis catatan ringan (itupun belum selesai), main game , dan merenung. Itu saja. ini memang bukan kebiasaan saya, menjadi orang yang senang mengurung diri di kamar. Biasanya jika libur kerja, saya selalu menyambutnya dengan ceria. Telepon beberapa teman, jalan-jalan (saya menyukai alam. Rasanya damai setiap kali melihatnya),, ramai-ramai silaturrahim ke rumah kawan lama, atau tergelak dengan teman-teman di gubuk persawahan.

Tapi kali ini sikap saya terasa aneh bagi orang-orang di sekitar. Pun untuk tetengga saya. “Kok murung?” Tanya dia saat mendapati kebengongan saya di tempat tidur. saya menoleh sambil tersenyum hambar padanya “aku lagi nulis, jadi konsentrasi” kemudian dia berlalu dengan kening yang sedikit mengkerut.

Saya belum menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari kamar. Mau makan, rasanya masih kenyang. Mau beli pulsa, kebetulan masih ada. Melihat agenda kegiatan , juga kosong. Sedangkan di luar, Segala sesuatunya tampak kurang menarik. Lalu saya coba mencari-cari, apa sebenarnya yang terjadi pada saya? Kenapa bisa begini?. Berbagai jawaban coba saya cocokkan dengan gundah di hati. Tapi belum juga benar. Patah hati, nggak. Dikecewain orang, juga nggak. Sedih, juga nggak. Lalu apa ya? Saya merenung. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi sebab. Lalu saya menyadari satu hal.

Rindu!

Ya. Saya tengah merindukan orang-orang terdekat. Ternyata rindu yang membuat saya jadi seinklusif ini. hanya berdiam diri di kamar. Males beraktifitas di luar rumah dan yang paling parah, saya tidur dengan muka ditutup bantal. Perilaku aneh. Seaneh perasaan saya sekarang.

tentang kerinduan saya.

Disadari kemudian, setelah melewati fase malas, kemudian tidur menutup wajah dengan bantal, ternyata saya memang tengah merindukan dua orang perempuan yang paling istimewa dalam kehidupan saya saat ini.

Perempuan pertama adalah Ibu. Saya seringkali menyebutnya malaikat dalam kehidupan saya. Mungkin sebutan itu berlebihan menurut orang lain, tapi tidak bagi saya. Sebab, lantaran ibu jugalah saya bisa menikmati hidup seperti saat ini. (tentu yang paling menentukan adalah Allah SWT). Alhamdulillah,,, berkat doa dan motivasi dari ibu, saya bisa tertempa di berbagai tempat.Saya sadar, sembilan bulan lebih ibu mengandung saya. Bertahun-tahun ibu merawat bayi kecilnya hingga tumbuh remaja. masih saja belum cukup, kembali saya merepotkan beliau dengan “kenakalan-kenakalan” yang tak terelakkan. Berkali-kali juga kecelakaan motor lantaran terdampar dalam balapan liar. Meski demikian, tak pernah saya dapati Ibu membenci dan meminta kembali kasih sayang yang sudah diberikan pada saya. Tak pernah. Ibu selalu tersenyum buat saya.

Ibu juga yang merelakan sebagian besar waktunya untuk mendoakan saya. Anaknya yang seringkali bandel ini. tak pernah lelah menjadi motivator bagi saya. Masih jelas terbayang dalam benak saya saat dulu, Ibu tetap tersenyum melihat nilai rapor saya yang penuh angka “merah”. Menjadi peringkat ke-38 dari 38 siswa. Luar biasa bukan? Artinya, Saya adalah siswa paling bodoh sewaktu duduk di kelas 1 (sekarang kelas X). dan ibu tidak pernah menunjukkan raut kekecewaan pada saya saat itu. “Kamu sebenarnya pintar,,, Cuma mungkin kurang beruntung saja. tidak apa-apa. Berarti kamu harus giat belajar dan rajin berdoa agar Allah menganugerahkan ilmu yang bermanfaat bagimu.”

Saya sedikit heran saat itu. Kenapa ibu tidak kecewa? Kenapa tidak marah? Kenapa malah memujiku sebagai anak yang pintar? Padahal sebelumnya saya cemas untuk pulang ke rumah dengan nilai rapor seperti itu. Butuh keberanian luar biasa. Tapi sampai di rumah, ibu berhasil menghapus semua ketakutan saya itu. Tentu tak bisa saya temukan jawabannya saat itu. Tapi sekarang, setidaknya saya sudah mulai sedikit memahami apa yang ibu nasehatkan dulu.

Pertama, Ibu tidak mau menunjukkan kekecewaan atau kemarahan pada saya karena lebih mementingkan kondisi kejiwaan saya yang saat itu tentu masih labil. Ibu khawatir semangat saya akan turun lantaran hasil rapor yang jelek. Jika bukan orang tua yang menguatkan dan tetap memberi semangat, lalu siapa lagi? Tentu tidak mungkin jika orang lain. Ibu juga tidak terjebak dengan angka-angka di rapor. Bagi ibu, yang terpenting adalah bagaimana saya tetap berusaha, berikhtiar dan berjuang dalam kehidupan ini. Hasil akhir tetaplah milik Allah SWT.

Apa jadinya saya jika misalnya saat itu dibentak-bentak kemudian dibilang Bodoh atau Goblok? Mungkin saya malah akan stress. Lalu uring-uringan. Tidak semangat belajar, bahkan mungkin memilih mundur dari bangku sekolah. Maka beruntunglah saya mempunyai ibu sebijaksana beliau. Bukan hanya tidak marah, tapi malah memuji, padahal saya tahu bahwa pujian itu hanya untuk menyenangkan hati saya. Tapi sejujurnya, saya bisa lebih semangat karena sikap ibu yang tidak meremehkan saya. Kemudian saya mulai menyadari, bahwa pada dasarnya, setiap anak mempunyai kemampuan yang sama. Hanya bagaimana mengoptimalkan kemampuan itu. Tentu saja salah satunya adalah rajin belajar. Juga berdoa. Alhamdulillah,,, pelan-pelan saya beranjak dari peringkat 38. Makin lama makin ke atas. Hingga di kelas akhir, saya bisa juga mencicipi 10 besar. Tersenyum manis di peringkat 2. (hehe,,, mulai narsis nih. Astaghfirullah,,,) Kedua, ibu ternyata tidak menuntut saya mempunyai ilmu yang banyak, tapi ilmu yang barokah. Bermanfaat bagi saya sendiri, keluarga, dan orang lain. Bukankah memang ilmu yang barokah yang akan menjadi amal jariyah? Setiap ilmu yang diperoleh, lalu diamalkan di jalan yang benar, insya allah akan menjadi jalan indah menuju haribaan Allah SWT.

^_^

Lalu saya merasakan betapa kerinduan ini semakin membuncah terhadap beliau. Saat pagi tiba misalnya,,, biasanya ada sarapan yang sudah Ibu siapkan untuk anaknya yang manis ini (halahh…). Tapi sekarang,,,? Ah,,, jika kebetulan adik saya tidak masakin saya, maka saya harus masak sendiri. Meski tak seterampil saat di sekolah dulu, paling tidak masih bisa masak. Asin-asin dikit juga gak masalah. Yang penting kenyang. Atau kalau lagi malas masak, ya beli makan di luar. Ngenes. Tapi tidak apa-apa,,, sesekali saya memang harus mandiri. Tidak boleh selalu menunggu masakan ibu saja untuk makan. (Siapa tahu, seseorang yang sangat menyukai gerimis itu sebentar lagi akan benar-benar masak buat saya) Inilah yang juga menjadi semangat buat saya untuk sesegera mungkin menikah.biar ada yg masakin buat saya ^_^

Masih tentang kerinduan… Perempuan kedua yang saya rindukan adalah dia, perempuan dengan berjilbab yang datang sebelum senja. mengingat segala hal tentangnya berarti mengingat-ingat beberapa episode terindah buat saya sekarang. percakapan-percakapan panjang yang terasa pendek dengannya, sedikit gugup saat melepas senja bersama. Menikmati pendar-pendar jingga senja. Makan sore sambil bertukar kisah. Menikmati 3 butir peluh di keningnya yang akhirnya dia usap dengan punggung tangannya sendiri. Menatap bening matanya yang selalu menyisakan rindu. Tersenyum melihat gaya bicaranya yang menggemaskan. (duhai,,, aku tiba-tiba merindukan senyummu yang semanis madu,,,). Perempuan itu pelan-pelan mulai mengisi hati saya. Menanamkan rindu yang mulai lebat berbuah. Saya merindukan kehadirannya. Sangat. Bukan semata karena saya tidak ada yang nyiapin makan. Tapi lebih karena saya ingin sesegera mungkin meraih cita-cita terbesar dalam hidup. yaitu, memuliakan seorang wanita sebagai seorang istri.

Karena Engkau Sahabatku...

“Hujan kembali turun dengan derasnya…”

Lagi,,,
selarik cemas menikamku seiring sms yang kau kirim itu Na… kau sudah tahu kan, bahwa aku paling tidak bisa membiarkanmu gigil dalam ketakutan. Membiarkanmu cemas dalam derasnya hujan dan gelegar guntur. Bgitu pula sebaliknya kau terhadapku. sama seperti membiarkan tubuhku terombang-ambing dalam gulungan badai di lautan lepas. Tentu hanya ketakutan memuncak yang kita rasakan.

Kau pernah bertanya padaku Na,,, kenapa aku mencemaskanmu. Dan aku hanya punya satu jawaban. Karena engkau adalah Sahabatku,,, perempuan dengan segala keanggunan sikap dan sifat. Kau seperti ayat-ayat yang “dikirim” Tuhan untuk aku baca dan aku tafsirkan. Meski memang tidak mudah menafsir segala yang ada padamu. Bahkan aku seringkali tersesat memahami senyummu. Kau lebih rumit dari sebait puisi Na. Itu yang aku tahu.

Aku masih mampu berteriak lantang jika berhadapan dengan puisi Na,,, tapi aku tetap hanya bisa diam jika berhadapan denganmu. Sebuah sikap yang barangkali terlihat lucu di hadapanmu. Ah,,, aku masih ingat saat dalam gerimis kau menelponku Na,,, kau sempat membacakan sebuah puisi yang ditulis Chairil Anwar:

Kalau kau mau kuterima kembali/ dengan sepenuh hati/ aku masih tetap sendiri/ kutahu kau bukan yang dulu lagi/ bak kembang sari sudah terbagi/ jangan tunduk!/ tentang aku dengan berani//
Kalau kau mau kuterima kau kembali/ untukku sendiri tapi/ sedangkan dengan cermin aku enggan berbagi//

Saat itu aku mendengarkanmu dengan sangat masygul. Aku tak tahu apa maksudmu. Maka,, saat kau telah usai membacakan puisi itu, dengan sedikit gugup aku bertanya tentang maknanya. Aku takut lagi-lagi aku salah menafsirkannya. Sejenak kau tertawa renyah Na,,, lalu dengan suara lembut, pelan-pelan kau berkata:

“Aku membacakan puisi ini untuk mewakili hatimu. Kau seseorang yang patut dihargai. Bukan untuk dilukai. Aku memahami perasaanmu yang pernah perih saat diabaikan. Aku memahami hatimu yang nyaris selalu diam meski kau selalu dikesampingkan. Aku tahu, saat kau pernah menaruh harapan besar pada seseorang, dan dia juga mengaku punya perasaan yang sama denganmu, ternyata kau masih diacuhkan olehnya. Dia masih lebih mementingkan perasaan orang lain dari pada perasaanmu. Aku tidak ingin perasaanmu terus menerus dirajam luka oleh orang-orang yang mengaku menyayangi kamu tapi sikapnya tak pernah menunjukkan bahwa kau istimewa baginya. Aku tahu itu,,, sangat tahu. Dan perlu kau tahu, aku adalah orang pertama yang paling tidak terima dengan perlakuan seperti itu terhadapmu” lalu kau terisak Na… sejenak aku bingung bagaimana cara mendiamkan isakmu. Ingin rasanya aku menghapus air matamu, tapi aku tak sedang disampingmu. Jikapun aku tengah di sana, tak mungkin aku berani, karena kita tidaklah halal satu sama lainnya.

Maka perlahan aku juga mulai bicara padamu Na,,, aku menjelaskan bahwa aku sudah ikhlas menerima perlakuan seperti itu. Karena dengan terluka, aku bisa belajar tegar. Aku belajar kuat. Aku belajar bagaimana bangkit setelah berkubang dengan rasa sakit. Dan sekarang,,, aku sudah pulih. Aku sudah mampu berdiri dengan tersenyum.

Aku memang pernah terluka Na,,, tapi itu sudah menjadi bagian dari masa laluku. Aku berterimakasih karena kau tidak saja peduli denganku saat ini. tapi juga berempati dengan masa laluku. Kini,,, tak ada alasan bagiku untuk terus menerus lebam dalam duka Na... karena ada kamu yang mencemaskanku. Mengkhawatirkanku.

oh iya,,, akan kukabari kau jika aku pulang nanti Na,,, kau sudah berjanji padaku untuk mengicipi masakanmu. dan aku selalu menunggu itu. nanti, saat kita bertemu, jangan bertanya lagi kenapa aku semakin kurus ya Na? Karena memang begini keadaanya…

“Hujan sudah reda,,, aku pulang dulu ya”
smsmu menyadarkan lamunanku. melegakanku.
^_^

Air Mata Itu....

Malam ini aku sakit Na,,, Badanku demam. Semalaman aku tidak bisa tidur. Padahal, kemarin sore aku sudah minum air kelapa muda. Menurut temanku, air kelapa muda sangat bagus untuk menurunkan panas. Tapi kali ini tampaknya kurang berhasil. Panas badanku makin tinggi. Ah,,, barangkali karena kurang istirahat ya Na,,, selepas tidur nanti, semoga saja akan segera pulih. Karena ini benar-benar tidak mengenakkan.

Selain panas, ada sesuatu yang juga sedikit mengganggu pikiranku saat ini Na,,, yaitu tentang tangismu yang tiba-tiba berderai semalam. Saat itu, kau memang meneleponku. Tapi tak sepatah katapun terucap selain isak dan tangis yang menyayatku. Ada apa sebenarnya Na,,,? Ada apa,,,?
Kau belum bercerita padaku,,, bahkan untuk berbicara sepotong kalimatpun, rasanya kau tak mampu. Kau hanya menangis,,, menangis dan terus menangis,,,

Beberapa kali aku sudah bertanya apa sebenarnya yang terjadi padamu Na,,, tapi yang kudapat hanya suara isak tangis. Aku merasakan sesak di dadamu Na,,, aku merasakan sakit dalam tangisanmu. Tapi aku tak tahu, sakit seperti apa yang menikammu. Maka,,, untuk beberapa saat lamanya aku hanya mampu terpekur, diam. Tak tahu harus bagaimana. Kubiarkan kau dengan tangisanmu Na,,, kubiarkan kau menuntaskannya, sebab aku yakin kau punya alasan kenapa harus menangis. Bagiku, jika dengan menangis akan membuatmu sedikit lebih tenang, menangislah…

Beberapa menit berlalu, tangisanmu tak jua mereda Na,,, bahkan semakin menjadi. Aku merasakan, ada semacam bongkahan beban berat yang mendera hatimu. Ini yang membuatku bingung lalu cemas. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan tangisanmu itu. Menjelang duapuluh enam menit berlalu. Aku kembali mencoba bertanya padamu Na,,, apa sebenarnya yang terjadi. Lalu dalam isak, kau terbata berucap “Ma,,, aaff…”. Hanya itu. Ya,,, hanya itu dan tak ada kelanjutannya.

Aku semakin bingung dengan kata maaf yang terucap di sela isakmu Na,,, apakah “maaf” karena kau tak mampu menjelaskan tentang musabab tangismu. Atau “maaf” dengan arti kau hendak meminta maaf karena sebuah kesalahan yang tak sengaja kau lakukan padaku. Atau “maaf” karena membuatku bingung dengan isak tangismu. Atau apa,,,? Ah,,, lagi-lagi aku tak punya jawaban Na,,, dan aku semakin bingung.

Lalu,,, saat hendak kutanyakan lagi tentang maaf yang kau ucapkan itu. Mendadak teleponmu terputus Na. Secepatnya aku telepon balik ke nomermu. Tapi terlambat,,, nomermu sudah tidak aktif. Aku hanya mendapati suara perempuan dengan nada nyaris tanpa ekspresi berucap “telepon yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi” kemudian dengan ucapan berbahasa inggris yang aku yakin artinya tidak jauh beda dengan sebelumnya.

Kau sudah tidak bisa dihubungi lagi Na,,, ini yang semakin membuatku cemas dan tidak sedikitpun bisa tenang. Terus terang,,, semalaman aku memikirkanmu Na,,, sampai akhirnya adzan subuh menyadarkanku bahwa malam sebentar lagi akan berlalu. Tapi tidak sedikitpun bayangan dan tangismu bisa berlalu dari ingatanku. Malah semakin kuat tertanam.

Perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Segera berwudhu dan menunaikan sholat subuh. Ada yang jatuh dari kedua mataku Na,,, hangat dan menggetarkan. Hangat itu mengalir saat aku tengadah dan memanjatkan doa pada Allah Sang Maha Segalanya. Aku mengadu padanya Na,,, tentang segala hal yang aku alami. Juga tentang kamu. Bahkan aku menyebut namamu pertama kali Na,,, aku meminta kebaikan dunia dan akherat untuk kamu dan keluarga. Tahukah kau Na,,, bahwa sangat banyak yang kupinta pada Allah. Salah satunya tentu saja aku meminta petunjuk agar aku bisa segera memahami tangismu semalam.

Lalu di hatiku, subuh yang cantik tadi bersepuh pilu Na,,, aku merasakan pilu itu deras mengalir dari hatimu. Dan anehnya, semua bermuara ke ceruk hatiku. Sembari berusaha mendamaikan rasa cemas ini, aku mencoba menunggu matahari terbit sambil senantiasa mengirup nafas dalam-dalam. Berharap resah ini pudar perlahan.

Salahkah jika aku mengabaikan tradisi, dan memilih lebih mempercayai Allah?

Smsmu selepas subuh itu menyentakku Na. Matahari seolah urung memudarkan resah. Dan aku kembali berkubang dengan rasa cemas. Kemudian dalam resah kubalas smsmu penuh keyakinan.

Kau tak salah apa-apa Na. Bahkan kau benar. Sangat benar! Allah yang menguasai segala hidup dan kehidupan ini! jangan sekali-kali meragukan Allah!

meski sedikit bingung, tapi aku berusaha meyakinkanmu Na,, karena memang hanya Allah saja yang patut kita yakini. bukan yang lain. aku mencoba mengira bahwa ini yang menjadi sebab tangisanmu semalam Na,,, tapi kenapa ada kata "maaf" yang kau ucapkan?


Khawatir sesuatu terjadi, kemudian aku mencoba menghubungimu. tapi lagi-lagi suara perempuan tanpa ekspresi itu yang menjawabnya “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi”. Aku terdiam. Kembali lesap dalam praduga, apa sebenarnya yang terjadi padamu.

Sungguh,,, hari ini aku sakit Na,,, badanku panas. Demam ini kian memelukku. Manjadi rindu dan pilu. Tapi aku yakin, kau juga tengah merasakan sakit, meski mungkin sakit yang kau alami tak sama dengan sakit yang aku rasakan.
ini yang semakin membuatku gamang.
Jika saja aku bisa, ingin rasanya aku mengambil sakit itu dari hatimu Na,,, biarlah aku saja yang merasakannya. agar kau tak lagi menangis. agar kau bisa tersenyum dengan ceria.


Saat kau lebih tenang nanti,,, kumohon, sempatkanlah mengabariku ya Na,,, rasa cemas ini tak akan pernah reda sebelum aku bisa memastikan, bahwa kau baik-baik saja.

di sini,,, aku akan senantiasa mendoakanmu.

Senin, 17 Juni 2013

Saya yang mengalah,,,

+ Apa yang kau tahu tentangku,,,?
-   Seseorang yang baik hati, lembut, penyayang, perhatian dan sedikit slengean. (Saya tersenyum)
+ Lalu,,,?
-    Selebihnya kau akan sama dengan yang lain. Bakal menyakitiku.
+ Menyakiti hatimu? (Tanya saya memastikan sembari mengernyitkan dahi)
-    Tidak. Kau mungkin tidak akan menyakiti hatiku. Tapi kau akan menyakiti fisikku.
+ Aku tak mengerti.
-    Apa kau akan menikahiku?
+ Iya.
-    Berarti kau akan menyakitiku.
+ Kenapa kau bilang seperti itu?
-    Setiap lelaki yang menikahi perempuan akan menyakitinya.
+ Lalu? (Saya tidak mau mendebatnya)
-    Aku takut untuk menikah.
+ Meski denganku?
-    Ya.
+ Untuk alasan yang tadi?
-    Ya.
+ Kenapa?
-    Karena aku takut dengan rasa sakit.
+ (beberapa saat lamanya saya terdiam) Baiklah. Setiap orang memang punya pilihan dalam hidup. dan aku menghormati pilihanmu. Tidak apa-apa. Insya Allah aku ikhlas.
-   Maafkan aku.
+ Tidak apa-apa. Semoga kau sukses dalam hidup.
-    Terimakasih. Semoga kau senantiasa berlimpah kebahagiaan.
+ Amin ya Allah.
Saya berlalu. Berusaha tersenyum, seperti setiap kali saya menemukan peristiwa yang menyedihkan. Tersenyum bagi saya adalah jalan terindah untuk melangkah setelah airmata.
apakah saya mirip monster yang siap mencabiknya? entahlah,,, Ada yang tidak biasa dari jawaban yang saya temukan darinya. Tapi saya tidak berusaha untuk mengoreknya lebih jauh. Biarlah itu tetap menjadi alasan yang klise. Barangkali,,, itu hanya bentuk citraan dari alasan lain yang lebih besar di hatinya.
Rasa sakit?
Ya. Tentang rasa sakit. Sedikit tidak paham dengan rasa sakit yang ia maksudkan. Saya tahu, bahwa berumah tangga itu tidak selamanya akan melulu tersenyum. Sesekali memang harus merasakan “sakit”. Tapi barangkali, sakit yang saya maksudkan tidaklah sama dengan sakit yang ia maksudkan. Mungkin sudut pandang kami berbeda. Terkadang, ada beberapa jenis rasa sakit yang memang selayaknya menjadi sebuah keharusan, jika itu demi kebaikan. Dan kita memang harus tega “menyakitinya”.
Misalnya saja para orang tua. mereka memang harus tega melihat anaknya demam dan menangis kesakitan karena imunisasi. Tapi tentu semua itu dilakukan karena tujuannya adalah kebaikan. Yaitu kekebalan tubuh sang anak terhadap serangan beberapa virus penyakit. Biarlah sang anak menangis dulu karena sakit akibat diimunisasi, asalkan setelahnya bisa bermain dengan sehat dan ceria. Di lain kejab, orang tua juga harus tega melihat anaknya menangis saat dikhitan (bagi anak laki-laki). Selain memang mengikuti ajaran agama islam, itu juga demi kesehatan sang anak kelak.
Jika yang dimaksud adalah rasa sakit yang seperti ini, tentu saya termasuk orang-orang yang menyetujuinya.
Tetapi jika menyakiti secara fisik yang dimaksud adalah memukulnya, menempelengnya, menjambak rambutnya, atau bahkan menyiksanya seperti yang sering saya dengar di televisi-televisi, Na’udzubillah,,, semoga saya dijauhkan dari sifat-sifat tercela seperti itu. Memuliakan seorang istri tentu dengan jalan tidak menyakitinya barang sedikitpun. Apalagi sampai menyiksanya. Tidak. Itu bukan saya.
Ya Allah,,,
Saya menduga bukan ketakutan terhadap rasa sakit akibat penyiksaan yang ia kawatirkan. Mungkin ada hal lain. Entah apa. Tentu tidak bijak jika saya tetap ngotot padanya. Jadi saya memilih untuk mengiyakannya. Sekali lagi karena saya tidak suka perseteruan. Apalagi memaksakan kehendak. Biarlah, saya yang mengalah asalkan dia bisa tenang dan tidak merasa takut akan disakiti. Saya yang akan belajar kembali pada rasa sedih. Kepedihan terindah yang pernah saya alami.
*****
*Tulisan ini saya ambil dari catatan seorang sahabat yang enggan disebut namanya. Semoga dia bersabar. Amin…